Jumat, 30 Juli 2010

Bagian 2 : August-Olfa

Keesokan paginya, dengan mata bengkak dan pekerjaan rumah yang tak selesai, Nove memasuki ruang makan. Seperti sudah diduganya, ibunya tak ada di situ. Dan seperti sudah diduganya pula, yang duduk berhadapan di meja adalah ayahnya dan orang asing itu.
Nove memperhatikan, anak laki-laki itu tampak seperti tak tidur semalaman. Penampilannya sedikit berubah setelah membersihkan diri, dan mau tak mau Nove harus mengakui bahwa anak laki-laki itu bertampang lumayan.
”Aku nggak sarapan,” kata Nove pendek dan meninggalkan ruang makan.
”Nove,” ayahnya memanggil.
Etika mengharuskannya menjawab, ”Ya, Ayah?”
”Kamu harus makan. Kembalilah.”
”Aku nggak lapar.”
”Lapar atau tidak, kau harus makan. Duduk.”
Nove memutar bola matanya dengan jengkel. Ia tahu, kalau ayahnya mulai mengulang perintah, artinya perintah yang ketiga adalah hukuman. Dengan berat ia kembali dan duduk di dekat meja, setelah sebelumnya menggeser kursinya sejauh mungkin dari kakak barunya.
Anak laki-laki itu tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Nove tak menjawabnya.
”Nove,” kata ayahnya lagi, ”kau tahu apa yang harus kaulakukan jika seseorang mengucapkan salam padamu. Ayah tak ingin ada orang yang menganggap Putri Eternity tidak dididik tata krama.”
Nove mendengus, lalu menjawab salam itu dengan suara cepat dan tipis.
Untuk beberapa saat di ruangan itu hanya terdengar denting peralatan makan, kemudian seseorang mengetuk pintu.
”Silakan masuk,” jawab Raja.
Hati Nove sedikit berbunga melihat Suga Saikanova yang masuk. Laki-laki itu memberi hormat kepada ketiga penghuni ruangan dan dibalas dengan canggung oleh August-Olfa.
”Mari sarapan bersama-sama, Tuan Saikanova,” Raja menawarkan.
Suga berterima kasih, tetapi menyatakan bahwa ia sudah sarapan sebelumnya. Ia kemari untuk menanyakan ada keperluan apa Raja memanggilnya.
”Begini,” Raja meletakkan peralatan makannya, ”saya meminta bantuan Tuan Saikanova untuk mengenalkan August-Olfa pada lingkungan kerajaan. Terserah dia sendiri mau dimulai dari mana, karena ia harus belajar banyak dalam waktu yang amat singkat.”
Nove mencibir tanpa berusaha menyembunyikannya.
”Baik, Yang Mulia,” jawab Suga patuh, lalu ganti menatap August-Olfa, ”jadi Pangeran mau memulai dari mana?”
Pangeran! Puh! Nove kembali mencibir. Dia cuma laki-laki tak jelas yang menipu ayah untuk menjadi Raja. Aku tak akan tertipu olehnya!
August-Olfa meletakkan peralatan makannya dan mengucapkan terima kasih atas hidangannya, lalu berdiri menghadap Suga, ”Mohon memanggil saya Augi saja, terima kasih. Saya, eh, kalau tak keberatan, saya ingin melihat kegiatan sehari-hari Putri Nove.”
Garpu Nove nyaris terlempar, ”Kau ---- apa?! Kau mau memata-mataiku, begitu?!”
”Nove!” tegur Raja.
Air muka August-Olfa terlihat sangat gugup. Ia membungkuk beberapa kali, “Maafkan saya, anu, saya pikir kalau membiasakan diri, saya harus melihat dahulu apa yang biasa dilakukan seorang keluarga kerajaan, dan eh, yang paling dekat usianya dengan saya, mungkin Putri Nove? Itu juga kalau Putri tak keberatan.”
“Keberatan! Sangat keberatan! Apa kata teman-temanku nanti, melihat laki-laki murahan macam kamu ---- “
”Nove! Jaga ucapanmu!”
Nove terdiam, tetapi dadanya masih penuh dengan kata-kata cacian. Ia melempar serbetnya dan cepat-cepat meninggalkan ruangan, tanpa mempedulikan teguran ayahnya kemudian. Apa saja, yang penting tak melihat orang itu lagi.
*
”Kau bilang orang itu kakakmu?”
Siang itu halaman depan sekolah dipenuhi gadis-gadis yang ingin tahu, sementara kesabaran Nove hampir hilang melihat orang yang paling tak ingin dilihatnya saat ini berdiri di muka sekolahnya.
August-Olfa memberi hormat, menyebabkan gadis-gadis yang berkerumun itu menatap Nove dengan perasaan iri.
”Selamat siang, Putri Nove. Saya datang menjemput anda.”
Muka Nove memerah, menahan kekesalannya walaupun juga sedikit bercampur malu. Apa maunya orang ini? Cari muka pada teman-temanku? Cari dukungan supaya bisa jadi Raja?
”Pulang, aku tak butuh dijemput,” sahut Nove pendek.
August-Olfa tak menyerah, “Yang Mulia meminta saya menemani Putri belajar hari ini, karenanya saya putuskan untuk langsung menemui Putri di sekolah.”
“Tuan,” sapa May dengan gayanya yang menarik, “kalau Nona Judes itu nggak mau dijemput, gimana kalo jemput saya aja?”
Pipi Augi memerah, “Eh, anu, saya datang untuk menjemput Putri.”
May menggandeng Augi dengan agresif, dihujani jeritan-jeritan kesal gadis-gadis yang tak punya keberanian setebal May. “Naah, Nona Putrinya nggak pengen dijemput, toh? Saya juga suka, lho, belajar bersama. Makanya sama saya aja belajarnya.”
”Eh, tapi ---- ”
”May!” panggil Nove galak.
“Apaaa….?” jawab May dengan malas.
“Kalau kau begitu terus, lupakan saja pernah jadi temanku!”
May terkikik, lalu menyentuh pipi Augi sedikit, menyebabkan wajah anak laki-laki itu merona. ”Kalo gitu udahan dulu, ya, Tuan Pangeran Baru, teman saya satu itu agak sensitif hari ini.”
Augi mengangguk, lalu ditinggalkan sendiri oleh May yang berusaha mengejar Nove. Setelah memberi jeda waktu, Augi menyusul kedua gadis itu dengan langkah dipercepat.
Setibanya di Rumah Induk, Suga sudah menunggu di muka pintu. ”Kenapa Putri sendirian?” tanyanya tajam.
Nove menukas, ”Ada May.”
”Anda tahu, Pangeran menjemput anda?”
Nove tak berusaha berbohong.
”Nah, kenapa anda sendirian?”
Tak berapa lama, Augi muncul di halaman Rumah Induk. ”Maaf,” katanya tersengal sedikit, ”Paduka Putri berjalan terlalu cepat. Saya kesulitan menyusulnya.”
”Oh, jadi aku yang salah, nih?” Nove melotot pada kakak barunya itu.
”Tuan Putri,” Suga menegur dengan nada favoritnya, ”walaupun belum dinobatkan, Pangeran August-Olfa adalah pewaris tahta.”
Nove tidak menjawab. Ia membuang pandangannya ke lantai.
”Mohon Putri mengulang ucapan anda, dengan cara yang lebih menunjukkan posisi anda.”
”A-anu... Saya tidak apa-apa, kok,” Augi berusaha menengahi, tetapi malah mendapat hujan tatapan tajam Suga. Jelas sekali pernyataan Suga barusan bukan karena berpihak pada Sang Pangeran.
Diam-diam Nove tersenyum kecil melihatnya, lalu tanpa berkata apa-apa ia berlari kecil masuk Rumah Induk, tidak menghiraukan namanya dipanggil.
Suga menghela napas.
”Maaf... Eh, tolong Putri dimaafkan,” kata Augi pelan, seolah mencoba meredakan ketegangan, tetapi sekali lagi ia dihujani pandangan menusuk.
”Dengar, Paduka,” suara Suga dingin menghujam tulang, ”saya tidak tahu apa niat anda, tetapi jika sesuatu terjadi pada Putri Nove...” Suga mengambil jeda sejenak sambil merendahkan suaranya, ”Saya akan menemukan anda.”
Beberapa saat berlalu. Augi membalas pandangan Suga dengan cara yang tidak mudah ditebak maknanya, lalu ia tersenyum. ”Saya,” katanya kemudian, ”tidak bermaksud apa-apa. Saya juga tidak ----- ”
Sunyi kembali sejenak.
”Tidak ----- apa?” tanya Suga, menunggu.
”Bukan, hanya saja saya heran, kenapa Tuan Saikanova mengatakan ini.”
”Daripada anda, sayalah yang lebih seperti seorang kakak baginya.”
Augi kembali tersenyum dengan caranya yang aneh, ”Maaf, Tuan Saikanova,” ujarnya lambat-lambat, ”tetapi kata-kata anda tadi sama sekali tidak terdengar seperti kalimat seorang kakak.”
Suga tercengang tanpa bisa membalas kata-kata Augi, sementara Sang Pangeran meninggalkannya, memasuki Rumah Induk.
*
Sore itu adalah pelajaran ilmu pedang yang pertama untuk Pangeran August-Olfa. Karenanya, gadis-gadis remaja seantero Eternity telah berkumpul di lapangan alun-alun, tempat para ajudan Raja berlatih. Hingga kemarin, Nove juga diwajibkan belajar ilmu pedang sebagai ahli waris kerajaan, tetapi mulai hari ini tugas itu telah dilimpahkan pada August-Olfa.
Eternity memiliki seorang pelatih pedang yang juga Komandan Pasukan Pengamanan Rumah Induk, tetapi rupanya Suga secara khusus meminta pada Raja agar diijinkan melatih Pangeran August-Olfa. Raja sendiri tidak keberatan, justru beliau merasa lega karena dengan demikian Nove dan August-Olfa tak perlu berlatih bersama yang amat berpotensi menimbulkan keributan.
Di Eternity, selain Pasukan Pengamanan Rumah Induk, hanya keluarga kerajaan yang diijinkan belajar ilmu pedang. Raja Eternity percaya, bahwa rakyat tidak memerlukan ilmu tersebut. Bahkan sesungguhnya menurut Raja, keluarga kerajaan pun tidak perlu mempelajarinya, akan tetapi ajudannya tidak berpendapat sama.
”Mungkin dia ingin belajar ilmu pedang,” gumam Nove.
May yang duduk di sampingnya, turut menonton latihan sore itu, menatapnya penuh tanya.
”Nggak,” jelas Nove, ”aku cuma berpikir, apa motivasi August-Olfa menyamar jadi pangeran.”
”Dan itu yang keluar dari benakmu? Ingin belajar ilmu pedang? Kreatif dikit, kek, kalo cuman pengen belajar ilmu pedang, kan, tinggal masuk Pasukan Pengamanan Rumah Induk?”
Nove mengangkat bahu, ”Dia naksir aku, kali...”
Tanpa bisa ditahan, May terbahak, ”Maunya!”
”Enak aja, siapa juga yang mau?”
”Yah,” May menghapus airmata tawanya, ”buatmu lebih baik Si Om-om Ajudan Raja, gitu?”
Muka Nove memerah, ”Suga masih 29 tahun, kok!”
”Berisik!!!” Suara yang hampir tiap hari menegurnya itu menggelegar, ”Putri Nove dan Nona May, kalau mau ngobrol dengan suara naga lebih baik ke Rumah Induk sana!!!”
Nove geragapan, ”Ma-ma-maaf!!!”
May terbahak lagi, kali ini diikuti tawa Sang Pangeran yang mempesona, memancing jeritan gemas gadis-gadis Eternity yang menonton.
”Manisnya Pangeran...”
”Aduh, kayaknya aku jadi lebih suka Pangeran, deh! Tuan Saikanova judes, sih...”
Wajah Suga mendidih menahan kekesalannya. Entah mengapa, May makin terbahak melihatnya. Nove yang menarik-narik tangan May tanda berusaha tak membuat Sang Ajudan meledak.
”Pangeran,” suara Suga memanggil terdengar berbahaya, ”kalau anda tak bermaksud belajar pedang...”
”Eh, tidak, maaf,” potong August-Olfa cepat-cepat, ”tidak-eh-ya, saya ingin belajar tentunya.”
Kekikukannya itu malah makin menyebabkan gadis-gadis memanas. Merasa tak bakal mampu mengatasi tingkah laku para penggemar August-Olfa, Suga mengangkat pedang walaupun raut mukanya seperti ingin memotong August-Olfa menjadi dua.
Pedang kembali beradu. Sesekali Suga memberikan petunjuk-petunjuk yang terdengar lebih mirip perintah itu. Tampak jelas bahwa August-Olfa sama sekali belum pernah menggunakan pedang.
Beberapa menit berlalu, gadis-gadis kembali menjerit tetapi kali ini karena ketakutan dan miris. Pedang August-Olfa terpental, nyaris melukai salah seorang gadis. Di lengan kiri baju putih August-Olfa terkoyak dan berwarna merah. Di sudut pedang Suga tampak secuil kain berwarna sama.
August-Olfa menelan ludah, berusaha mengurangi perih dengan menekan lukanya. Suga mengacungkan pedangnya, ”Anda hilang konsentrasi, Pangeran, jangan sekali-sekali melepaskan pedang.”
Sang Pangeran meminta maaf, memungut kembali pedangnya.
”Anda tak apa-apa, Pangeran?” tanya gadis yang tadi nyaris menjadi korban.
Pangeran menatap mata dan tersenyum ramah padanya, ”Tidak, terima kasih. Maaf hampir melukaimu.”
Gadis itu pingsan tanpa sebab yang jelas.
Pedang kembali beradu beberapa waktu. Kali ini para gadis lebih tenang, mungkin khawatir pangeran pujaannya kehilangan konsentrasi dan cedera lagi. Namun selang beberapa saat, kecelakaan kembali terjadi. Pangeran tergores di tempat yang sama dan pedangnya kembali terlepas dari tangannya.
”Jika anda melepas pedang, Pangeran, itu saatnya anda tewas di tangan musuh! Harap hal tersebut diingat!”
Terengah-engah, August-Olfa menjawab, ”Benar, maafkan saya.”
”Aneh,” komentar May, ”Suga seperti sengaja mendesak Pangeran?”
”Mana mungkin,” jawab Nove, agak senang karena berpikir mungkin Suga sama seperti dirinya yang tidak menyukai kedatangan Sang Pangeran Baru.
Pedang kembali berdenting-denting. Walaupun tidak melepaskan genggamannya, tampak jelas Pangeran berusaha melindungi lukanya sementara Suga justru mengincarnya.
”Ini nggak bener! Tuan Saikanova jelas-jelas mengincar cedera Pangeran!” May berdiri.
”Apa-apaan, sih, May?”
”Kamu nggak menghentikannya, Nov? Ada yang nggak beres!”
”Nggaklah, May! Bicaramu seolah-olah kamu tahu aja.”
”Nov, walaupun aku tahu kamu nggak suka kakakmu...”
Nove berdiri, ”Dengar, May, dia bukan kakakku! Jelas, lah, kalau Suga mendesaknya, mana mungkin ada pangeran cabutan bisa menguasai pedang dalam satu hari? Aku saja yang udah 15 tahun belajar masih belum bisa menyamai Suga!”
”Saya bukan orang yang sama dengan Paduka.” gumam August-Olfa tepat ketika Suga menghentikan serangannya, bermaksud sekali lagi menegur May dan Nove yang ribut.
Nove dapat mendengar dengan jelas gumaman itu.
”Apa kau bilang?”
May yang tahu persis tabiat sahabatnya mencoba menenangkan gadis itu dengan menggandengnya. Tetapi Nove mengibaskan tangan May dan mendekati arena.
”Coba ulangi, apa tadi yang kau bilang?”
”Maaf,” August-Olfa menyeka keningnya, ”saya tadi bilang, saya bukan orang yang sama dengan Paduka.”
”Putri, kami harus melanjutkan latihan...” Suga mencoba menengahi.
”Maksudmu,” Nove sama sekali tidak mengindahkannya, ”kamu lebih pintar dariku, begitu?! Aku belajar 15 tahun dan belum becus juga, lalu kamu bisa dalam 1-2 hari, begitu?!”
”Saya tidak bermaksud begitu.”
Nove menyambar pedang Suga tanpa bisa dicegah, ”Boleh, ayo kita coba, Tuan Ahli Waris!” Gadis itu menghunuskan pedangnya.
”Saya tidak ingin melawan Paduka.”
”Bicara sesukamu!” Nove menyerang dengan segala kekuatannya, amat berbeda dengan serangan-serangan Suga barusan. Kuat-kuat dihujamkannya pedang ke sisi kiri perut kakak barunya.
Ia bisa merasakan pedang itu meluncur bagaikan benang dalam cake yang masih panas. Dalam sekejap ujung pedang menjadi merah dan meneteskan cairan berwarna sama. August-Olfa tidak mencoba berkelit, apalagi menangkisnya. Ia hanya mengeluarkan pekikan tertahan, lalu terguling ke tanah.
Nove terpaku. Dengan sigap Suga menangkap tubuh Pangeran, sementara May memeluk pundak Nove yang bergetar. Nove benar-benar telah menusuk seseorang, dengan pedang. Sensasi yang mungkin tak pernah dirasakan siapapun di Eternity selama lebih dari 15 tahun.
Dan kini ia melakukannya, pada Ahli Waris Eternity.

1 komentar:

  1. cerita awalnya dah bagus. cepet di selesaikan ya, dan segera diterbitkan ^^

    good luck ya.. \(^v^)/

    BalasHapus