Jumat, 30 Juli 2010

Bagian 2 : August-Olfa

Keesokan paginya, dengan mata bengkak dan pekerjaan rumah yang tak selesai, Nove memasuki ruang makan. Seperti sudah diduganya, ibunya tak ada di situ. Dan seperti sudah diduganya pula, yang duduk berhadapan di meja adalah ayahnya dan orang asing itu.
Nove memperhatikan, anak laki-laki itu tampak seperti tak tidur semalaman. Penampilannya sedikit berubah setelah membersihkan diri, dan mau tak mau Nove harus mengakui bahwa anak laki-laki itu bertampang lumayan.
”Aku nggak sarapan,” kata Nove pendek dan meninggalkan ruang makan.
”Nove,” ayahnya memanggil.
Etika mengharuskannya menjawab, ”Ya, Ayah?”
”Kamu harus makan. Kembalilah.”
”Aku nggak lapar.”
”Lapar atau tidak, kau harus makan. Duduk.”
Nove memutar bola matanya dengan jengkel. Ia tahu, kalau ayahnya mulai mengulang perintah, artinya perintah yang ketiga adalah hukuman. Dengan berat ia kembali dan duduk di dekat meja, setelah sebelumnya menggeser kursinya sejauh mungkin dari kakak barunya.
Anak laki-laki itu tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Nove tak menjawabnya.
”Nove,” kata ayahnya lagi, ”kau tahu apa yang harus kaulakukan jika seseorang mengucapkan salam padamu. Ayah tak ingin ada orang yang menganggap Putri Eternity tidak dididik tata krama.”
Nove mendengus, lalu menjawab salam itu dengan suara cepat dan tipis.
Untuk beberapa saat di ruangan itu hanya terdengar denting peralatan makan, kemudian seseorang mengetuk pintu.
”Silakan masuk,” jawab Raja.
Hati Nove sedikit berbunga melihat Suga Saikanova yang masuk. Laki-laki itu memberi hormat kepada ketiga penghuni ruangan dan dibalas dengan canggung oleh August-Olfa.
”Mari sarapan bersama-sama, Tuan Saikanova,” Raja menawarkan.
Suga berterima kasih, tetapi menyatakan bahwa ia sudah sarapan sebelumnya. Ia kemari untuk menanyakan ada keperluan apa Raja memanggilnya.
”Begini,” Raja meletakkan peralatan makannya, ”saya meminta bantuan Tuan Saikanova untuk mengenalkan August-Olfa pada lingkungan kerajaan. Terserah dia sendiri mau dimulai dari mana, karena ia harus belajar banyak dalam waktu yang amat singkat.”
Nove mencibir tanpa berusaha menyembunyikannya.
”Baik, Yang Mulia,” jawab Suga patuh, lalu ganti menatap August-Olfa, ”jadi Pangeran mau memulai dari mana?”
Pangeran! Puh! Nove kembali mencibir. Dia cuma laki-laki tak jelas yang menipu ayah untuk menjadi Raja. Aku tak akan tertipu olehnya!
August-Olfa meletakkan peralatan makannya dan mengucapkan terima kasih atas hidangannya, lalu berdiri menghadap Suga, ”Mohon memanggil saya Augi saja, terima kasih. Saya, eh, kalau tak keberatan, saya ingin melihat kegiatan sehari-hari Putri Nove.”
Garpu Nove nyaris terlempar, ”Kau ---- apa?! Kau mau memata-mataiku, begitu?!”
”Nove!” tegur Raja.
Air muka August-Olfa terlihat sangat gugup. Ia membungkuk beberapa kali, “Maafkan saya, anu, saya pikir kalau membiasakan diri, saya harus melihat dahulu apa yang biasa dilakukan seorang keluarga kerajaan, dan eh, yang paling dekat usianya dengan saya, mungkin Putri Nove? Itu juga kalau Putri tak keberatan.”
“Keberatan! Sangat keberatan! Apa kata teman-temanku nanti, melihat laki-laki murahan macam kamu ---- “
”Nove! Jaga ucapanmu!”
Nove terdiam, tetapi dadanya masih penuh dengan kata-kata cacian. Ia melempar serbetnya dan cepat-cepat meninggalkan ruangan, tanpa mempedulikan teguran ayahnya kemudian. Apa saja, yang penting tak melihat orang itu lagi.
*
”Kau bilang orang itu kakakmu?”
Siang itu halaman depan sekolah dipenuhi gadis-gadis yang ingin tahu, sementara kesabaran Nove hampir hilang melihat orang yang paling tak ingin dilihatnya saat ini berdiri di muka sekolahnya.
August-Olfa memberi hormat, menyebabkan gadis-gadis yang berkerumun itu menatap Nove dengan perasaan iri.
”Selamat siang, Putri Nove. Saya datang menjemput anda.”
Muka Nove memerah, menahan kekesalannya walaupun juga sedikit bercampur malu. Apa maunya orang ini? Cari muka pada teman-temanku? Cari dukungan supaya bisa jadi Raja?
”Pulang, aku tak butuh dijemput,” sahut Nove pendek.
August-Olfa tak menyerah, “Yang Mulia meminta saya menemani Putri belajar hari ini, karenanya saya putuskan untuk langsung menemui Putri di sekolah.”
“Tuan,” sapa May dengan gayanya yang menarik, “kalau Nona Judes itu nggak mau dijemput, gimana kalo jemput saya aja?”
Pipi Augi memerah, “Eh, anu, saya datang untuk menjemput Putri.”
May menggandeng Augi dengan agresif, dihujani jeritan-jeritan kesal gadis-gadis yang tak punya keberanian setebal May. “Naah, Nona Putrinya nggak pengen dijemput, toh? Saya juga suka, lho, belajar bersama. Makanya sama saya aja belajarnya.”
”Eh, tapi ---- ”
”May!” panggil Nove galak.
“Apaaa….?” jawab May dengan malas.
“Kalau kau begitu terus, lupakan saja pernah jadi temanku!”
May terkikik, lalu menyentuh pipi Augi sedikit, menyebabkan wajah anak laki-laki itu merona. ”Kalo gitu udahan dulu, ya, Tuan Pangeran Baru, teman saya satu itu agak sensitif hari ini.”
Augi mengangguk, lalu ditinggalkan sendiri oleh May yang berusaha mengejar Nove. Setelah memberi jeda waktu, Augi menyusul kedua gadis itu dengan langkah dipercepat.
Setibanya di Rumah Induk, Suga sudah menunggu di muka pintu. ”Kenapa Putri sendirian?” tanyanya tajam.
Nove menukas, ”Ada May.”
”Anda tahu, Pangeran menjemput anda?”
Nove tak berusaha berbohong.
”Nah, kenapa anda sendirian?”
Tak berapa lama, Augi muncul di halaman Rumah Induk. ”Maaf,” katanya tersengal sedikit, ”Paduka Putri berjalan terlalu cepat. Saya kesulitan menyusulnya.”
”Oh, jadi aku yang salah, nih?” Nove melotot pada kakak barunya itu.
”Tuan Putri,” Suga menegur dengan nada favoritnya, ”walaupun belum dinobatkan, Pangeran August-Olfa adalah pewaris tahta.”
Nove tidak menjawab. Ia membuang pandangannya ke lantai.
”Mohon Putri mengulang ucapan anda, dengan cara yang lebih menunjukkan posisi anda.”
”A-anu... Saya tidak apa-apa, kok,” Augi berusaha menengahi, tetapi malah mendapat hujan tatapan tajam Suga. Jelas sekali pernyataan Suga barusan bukan karena berpihak pada Sang Pangeran.
Diam-diam Nove tersenyum kecil melihatnya, lalu tanpa berkata apa-apa ia berlari kecil masuk Rumah Induk, tidak menghiraukan namanya dipanggil.
Suga menghela napas.
”Maaf... Eh, tolong Putri dimaafkan,” kata Augi pelan, seolah mencoba meredakan ketegangan, tetapi sekali lagi ia dihujani pandangan menusuk.
”Dengar, Paduka,” suara Suga dingin menghujam tulang, ”saya tidak tahu apa niat anda, tetapi jika sesuatu terjadi pada Putri Nove...” Suga mengambil jeda sejenak sambil merendahkan suaranya, ”Saya akan menemukan anda.”
Beberapa saat berlalu. Augi membalas pandangan Suga dengan cara yang tidak mudah ditebak maknanya, lalu ia tersenyum. ”Saya,” katanya kemudian, ”tidak bermaksud apa-apa. Saya juga tidak ----- ”
Sunyi kembali sejenak.
”Tidak ----- apa?” tanya Suga, menunggu.
”Bukan, hanya saja saya heran, kenapa Tuan Saikanova mengatakan ini.”
”Daripada anda, sayalah yang lebih seperti seorang kakak baginya.”
Augi kembali tersenyum dengan caranya yang aneh, ”Maaf, Tuan Saikanova,” ujarnya lambat-lambat, ”tetapi kata-kata anda tadi sama sekali tidak terdengar seperti kalimat seorang kakak.”
Suga tercengang tanpa bisa membalas kata-kata Augi, sementara Sang Pangeran meninggalkannya, memasuki Rumah Induk.
*
Sore itu adalah pelajaran ilmu pedang yang pertama untuk Pangeran August-Olfa. Karenanya, gadis-gadis remaja seantero Eternity telah berkumpul di lapangan alun-alun, tempat para ajudan Raja berlatih. Hingga kemarin, Nove juga diwajibkan belajar ilmu pedang sebagai ahli waris kerajaan, tetapi mulai hari ini tugas itu telah dilimpahkan pada August-Olfa.
Eternity memiliki seorang pelatih pedang yang juga Komandan Pasukan Pengamanan Rumah Induk, tetapi rupanya Suga secara khusus meminta pada Raja agar diijinkan melatih Pangeran August-Olfa. Raja sendiri tidak keberatan, justru beliau merasa lega karena dengan demikian Nove dan August-Olfa tak perlu berlatih bersama yang amat berpotensi menimbulkan keributan.
Di Eternity, selain Pasukan Pengamanan Rumah Induk, hanya keluarga kerajaan yang diijinkan belajar ilmu pedang. Raja Eternity percaya, bahwa rakyat tidak memerlukan ilmu tersebut. Bahkan sesungguhnya menurut Raja, keluarga kerajaan pun tidak perlu mempelajarinya, akan tetapi ajudannya tidak berpendapat sama.
”Mungkin dia ingin belajar ilmu pedang,” gumam Nove.
May yang duduk di sampingnya, turut menonton latihan sore itu, menatapnya penuh tanya.
”Nggak,” jelas Nove, ”aku cuma berpikir, apa motivasi August-Olfa menyamar jadi pangeran.”
”Dan itu yang keluar dari benakmu? Ingin belajar ilmu pedang? Kreatif dikit, kek, kalo cuman pengen belajar ilmu pedang, kan, tinggal masuk Pasukan Pengamanan Rumah Induk?”
Nove mengangkat bahu, ”Dia naksir aku, kali...”
Tanpa bisa ditahan, May terbahak, ”Maunya!”
”Enak aja, siapa juga yang mau?”
”Yah,” May menghapus airmata tawanya, ”buatmu lebih baik Si Om-om Ajudan Raja, gitu?”
Muka Nove memerah, ”Suga masih 29 tahun, kok!”
”Berisik!!!” Suara yang hampir tiap hari menegurnya itu menggelegar, ”Putri Nove dan Nona May, kalau mau ngobrol dengan suara naga lebih baik ke Rumah Induk sana!!!”
Nove geragapan, ”Ma-ma-maaf!!!”
May terbahak lagi, kali ini diikuti tawa Sang Pangeran yang mempesona, memancing jeritan gemas gadis-gadis Eternity yang menonton.
”Manisnya Pangeran...”
”Aduh, kayaknya aku jadi lebih suka Pangeran, deh! Tuan Saikanova judes, sih...”
Wajah Suga mendidih menahan kekesalannya. Entah mengapa, May makin terbahak melihatnya. Nove yang menarik-narik tangan May tanda berusaha tak membuat Sang Ajudan meledak.
”Pangeran,” suara Suga memanggil terdengar berbahaya, ”kalau anda tak bermaksud belajar pedang...”
”Eh, tidak, maaf,” potong August-Olfa cepat-cepat, ”tidak-eh-ya, saya ingin belajar tentunya.”
Kekikukannya itu malah makin menyebabkan gadis-gadis memanas. Merasa tak bakal mampu mengatasi tingkah laku para penggemar August-Olfa, Suga mengangkat pedang walaupun raut mukanya seperti ingin memotong August-Olfa menjadi dua.
Pedang kembali beradu. Sesekali Suga memberikan petunjuk-petunjuk yang terdengar lebih mirip perintah itu. Tampak jelas bahwa August-Olfa sama sekali belum pernah menggunakan pedang.
Beberapa menit berlalu, gadis-gadis kembali menjerit tetapi kali ini karena ketakutan dan miris. Pedang August-Olfa terpental, nyaris melukai salah seorang gadis. Di lengan kiri baju putih August-Olfa terkoyak dan berwarna merah. Di sudut pedang Suga tampak secuil kain berwarna sama.
August-Olfa menelan ludah, berusaha mengurangi perih dengan menekan lukanya. Suga mengacungkan pedangnya, ”Anda hilang konsentrasi, Pangeran, jangan sekali-sekali melepaskan pedang.”
Sang Pangeran meminta maaf, memungut kembali pedangnya.
”Anda tak apa-apa, Pangeran?” tanya gadis yang tadi nyaris menjadi korban.
Pangeran menatap mata dan tersenyum ramah padanya, ”Tidak, terima kasih. Maaf hampir melukaimu.”
Gadis itu pingsan tanpa sebab yang jelas.
Pedang kembali beradu beberapa waktu. Kali ini para gadis lebih tenang, mungkin khawatir pangeran pujaannya kehilangan konsentrasi dan cedera lagi. Namun selang beberapa saat, kecelakaan kembali terjadi. Pangeran tergores di tempat yang sama dan pedangnya kembali terlepas dari tangannya.
”Jika anda melepas pedang, Pangeran, itu saatnya anda tewas di tangan musuh! Harap hal tersebut diingat!”
Terengah-engah, August-Olfa menjawab, ”Benar, maafkan saya.”
”Aneh,” komentar May, ”Suga seperti sengaja mendesak Pangeran?”
”Mana mungkin,” jawab Nove, agak senang karena berpikir mungkin Suga sama seperti dirinya yang tidak menyukai kedatangan Sang Pangeran Baru.
Pedang kembali berdenting-denting. Walaupun tidak melepaskan genggamannya, tampak jelas Pangeran berusaha melindungi lukanya sementara Suga justru mengincarnya.
”Ini nggak bener! Tuan Saikanova jelas-jelas mengincar cedera Pangeran!” May berdiri.
”Apa-apaan, sih, May?”
”Kamu nggak menghentikannya, Nov? Ada yang nggak beres!”
”Nggaklah, May! Bicaramu seolah-olah kamu tahu aja.”
”Nov, walaupun aku tahu kamu nggak suka kakakmu...”
Nove berdiri, ”Dengar, May, dia bukan kakakku! Jelas, lah, kalau Suga mendesaknya, mana mungkin ada pangeran cabutan bisa menguasai pedang dalam satu hari? Aku saja yang udah 15 tahun belajar masih belum bisa menyamai Suga!”
”Saya bukan orang yang sama dengan Paduka.” gumam August-Olfa tepat ketika Suga menghentikan serangannya, bermaksud sekali lagi menegur May dan Nove yang ribut.
Nove dapat mendengar dengan jelas gumaman itu.
”Apa kau bilang?”
May yang tahu persis tabiat sahabatnya mencoba menenangkan gadis itu dengan menggandengnya. Tetapi Nove mengibaskan tangan May dan mendekati arena.
”Coba ulangi, apa tadi yang kau bilang?”
”Maaf,” August-Olfa menyeka keningnya, ”saya tadi bilang, saya bukan orang yang sama dengan Paduka.”
”Putri, kami harus melanjutkan latihan...” Suga mencoba menengahi.
”Maksudmu,” Nove sama sekali tidak mengindahkannya, ”kamu lebih pintar dariku, begitu?! Aku belajar 15 tahun dan belum becus juga, lalu kamu bisa dalam 1-2 hari, begitu?!”
”Saya tidak bermaksud begitu.”
Nove menyambar pedang Suga tanpa bisa dicegah, ”Boleh, ayo kita coba, Tuan Ahli Waris!” Gadis itu menghunuskan pedangnya.
”Saya tidak ingin melawan Paduka.”
”Bicara sesukamu!” Nove menyerang dengan segala kekuatannya, amat berbeda dengan serangan-serangan Suga barusan. Kuat-kuat dihujamkannya pedang ke sisi kiri perut kakak barunya.
Ia bisa merasakan pedang itu meluncur bagaikan benang dalam cake yang masih panas. Dalam sekejap ujung pedang menjadi merah dan meneteskan cairan berwarna sama. August-Olfa tidak mencoba berkelit, apalagi menangkisnya. Ia hanya mengeluarkan pekikan tertahan, lalu terguling ke tanah.
Nove terpaku. Dengan sigap Suga menangkap tubuh Pangeran, sementara May memeluk pundak Nove yang bergetar. Nove benar-benar telah menusuk seseorang, dengan pedang. Sensasi yang mungkin tak pernah dirasakan siapapun di Eternity selama lebih dari 15 tahun.
Dan kini ia melakukannya, pada Ahli Waris Eternity.

Bagian 1 : Orang dengan Simbol yang Sama

Nove percaya, ia satu-satunya ahli waris. Walaupun ia perempuan, ia satu-satunya keturunan Raja Adaman, penguasa Negeri Eternity. Lagipula, ayahnya itu pernah mengatakan padanya, bahwa tidak akan menjadi masalah jika Eternity dipimpin seorang perempuan. Oleh karenanya, sejak dini Nove telah diajarkan berbagai ilmu dan keterampilan yang akan menjadikannya pemimpin yang hebat.
Eternity memang bukan negeri yang besar. Jumlah penduduknya tak lebih dari seribu orang. Pun tidak ada kota-kota di dalamnya. Meskipun demikian, Eternity adalah sebuah negeri yang mandiri. Keindahan dan kekayaannya menjadikan Eternity tak membutuhkan campur tangan negeri lain.
Eternity memiliki segalanya.
Bahkan, negeri itu tidak membutuhkan tentara. Penduduk Eternity berikut pemimpinnya bekerja bersama. Seluruh kekayaan negeri adalah milik bersama, dan setiap penduduknya memiliki peran masing-masing yang diatur di buku besar Rumah Induk . Tidak ada rasa iri, tidak ada yang lebih maupun kurang dari yang lain. Setiap konflik diselesaikan dengan kekeluargaan dan jika tidak dapat diputuskan, maka Raja yang akan memberikan keputusan. Dan belum pernah ada yang tidak dapat menerima hasilnya.
Itu sebabnya, sekalipun Nove seorang putri Raja, ia pergi belajar ke sekolah yang sama dengan semua anak di Eternity. ”Kunci menjadi seorang pemimpin yang baik adalah mengenal warganya dengan hati,” kata Raja Adaman pada putri semata wayangnya itu suatu ketika, ”oleh sebab itu, selain pelajaran di Rumah Induk, kau juga harus belajar bersama di sekolah.” Nove sama sekali tak keberatan dengan aturan ini, karena ia juga lebih suka pergi ke sekolah daripada belajar sendirian di Rumah Induk, meskipun dengan demikian, jam belajarnya jadi lebih banyak daripada anak-anak lain.
”Kadang-kadang aku jadi capek ngeliat kamu,” komentar sahabat karibnya, Maya Escrava, suatu hari, ”pulang sekolah, malamnya masih ada pelajaran tambahan di rumah. Kalau aku, sih, mana tahan!”
Nove cuma tersenyum mendengarnya. Ia tak perlu mengatakan bahwa hal itu sudah merupakan kewajibannya, lagipula ia yakin May juga sebenarnya sudah tahu itu. Sahabatnya itu hanya mengekspresikan kekesalannya karena tak bisa mengajak Nove keluyuran sepulang sekolah seperti anak-anak lain.
”Oh, ayolah, nggak bisakah kau bolos malam ini saja?”
Nah, benar, kan.
”Ada pesta di rumah Lisa, kau bakal nyesel kalau nggak ikutan!”
”Entahlah,” jawab Nove akhirnya.
”Tanyakan ayahmu.”
”Bukan ayah yang jadi masalah.”
Ya, benar, bukan ayah Nove yang jadi masalah, tetapi ajudan ayahnya, Suga Saikanova. Suga sangat-sangat-sangat disiplin terhadap penegakan aturan di rumah induk dan entah kenapa, Raja Adaman juga tidak pernah mengabaikan nasihat ajudannya itu.
”Tuan Saikanova?” tebak May, wajahnya masam dibuat-buat, ”Oh, jadi cinta lebih penting daripada sahabat, ya.”
Pipi Nove memerah, ”Apa? Hei, kapan aku bilang begitu?”
May nyengir keledai, ”Apa perlu bilang? Pipimu udah kayak tomat gitu, nggak usah bilang juga semua orang tau!”
”Aku nggak punya pikiran macam itu, May!”
”Hei, hei, nggak usah marah-marah, ’napa, sih? Nggak ada yang tau selain aku, kok!”
”May! Kutegaskan, aku nggak----”
”Putri Nove,” sebuah suara yang datar namun tak-bisa-dibantah tiba-tiba muncul dari ujung jalan. Sosok pemiliknya yang jangkung sedikit berkesan angkuh dan mengintimidasi. Plus, wajahnya sama sekali tidak bisa dibilang jelek. Di negeri yang penghuninya terbatas ini, semua gadis di Eternity bermimpi menjadi istrinya .
Termasuk Nove.
Nove membalikkan badan, ”Y-ya.”
“Putri Nove, anda tak seharusnya berada di luar saat ini.”
”Eh, ya, aku tahu.”
”Saya, Putri Nove. Bukan aku.”
”Maaf, eh, saya tahu.”
May terkikik memperhatikan ekspresi sahabatnya yang setengah-senang-setengah-takut itu. Nove medengarnya dan melancarkan serangan sikut, tetapi May berhasil mengelak. Gerakan itu memancing tatapan mengintimidasi Suga. Cepat-cepat Nove berlari kecil menuju Rumah Induk.
”Jangan terlalu keras padanya,” kata May ketika sosok Nove sudah tak kelihatan lagi dan Suga bermaksud menyusulnya.
Suga berhenti melangkah, namun tidak mencoba melihat May.
”Bebannya berat, kau tahu itu. Bersikaplah sedikit lembut,” lanjut May.
”Justru karena itu,” jawab Suga tanpa menoleh, lalu melanjutkan perjalanannya. May tak mencoba menghentikannya lagi.
”Kau bilang begitu,” bisik May lambat-lambat, hanya untuk didengarnya sendiri, ”tapi jika pada waktunya nanti, bukan kamu yang mendampinginya, tahu. Dasar kepala batu.”
Gadis itu menendang batu kerikil di dekatnya dan berjalan ke arah yang berlawanan.
*
Nove sedang berusaha keras melengkapi peta butanya ketika pintu ruang belajarnya diketuk.
”Putri Nove.”
”Silakan masuk,” jawab Nove tanpa mengalihkan perhatiannya.
Suga masuk dan menutup pintu. ”Saya minta maaf sudah mengganggu jam belajar Putri,” katanya, ”tapi Raja memanggil Putri Nove sekarang.”
Nove mengangkat wajah, ”Sekarang?”
Suga mengangguk. Nove dapat melihat secarik kegelisahan di wajah Suga. Hal itu membuat perasaan Nove jadi tidak nyaman.
”Ada apa?” tanya Nove.
”Sebaiknya Putri mendengarnya dari Raja sendiri.”
Jantung Nove berdetak lebih kencang dan dikuasai penasaran. Ia menandai letak hasil kerjanya pada bukunya dan menutupnya, merapikan kertas-kertas yang berserakan, kemudian keluar kamar belajarnya, diikuti Suga.
Pintu ruang kerja ayahnya berderit ketika ia masuk. Di dalam sudah ada ayah dan ibunya yang menunggu. Ibunya menangis, ayahnya berusaha menenangkannya. Perasaan Nove makin gelisah. Dan----hei, siapa anak laki-laki yang duduk di seberang ayahnya itu?
”Saya menghadap, Ayah,” Nove memberi hormat.
Ayahnya mengangguk. ”Duduklah,” katanya.
Nove patuh. Ia mengambil tempat di sebelah anak laki-laki itu, karena memang tak ada lagi tempat tersisa. Ia melirik anak laki-laki itu sekilas.
May mungkin menyukai yang seperti ini, pikir Nove.
“Nove, dengarkan,” ayahnya menarik napas, “kau tahu ayah dan ibu sangat sayang padamu.”
Ia merasa pertanyaan itu tak perlu dijawab.
”Kau tahu itu, kan?” ulang ayahnya.
Kali ini Nove mengangguk.
”Begini, ayah...” penjelasan Raja Adaman terputus karena isak Ratu yang makin keras. Raja mengusap punggung istrinya dengan lembut. Kemudian ia melanjutkan, ”ayah tidak hanya punya satu anak.”
Nove menelan ludah. Ia kembali melirik anak laki-laki itu, yang kali ini membalas tatapannya dengan senyum canggung. Tanpa sadar Nove mengambil jarak.
”Sebelum menikah dengan ibumu, ayah punya anak dengan wanita lain. Anak laki-laki ini. August-Olfa. Dia kakakmu.”
Nove kembali menelan ludah. Tidak, jangan katakan, Ayah. Jangan katakan. Jangan katakan. Jangan katakan.
”Dan dia,” Raja melanjutkan, ”Dia yang akan menjadi pewaris tahta.”
Nove melihat ibunya mengatupkan telapak tangan ke wajah yang memerah basah dan berdiri, tanpa mengucap salam meninggalkan ruangan. Ayahnya tidak menghalangi. Laki-laki tua itu tampak menanggung rasa bersalah yang sangat dalam.
Setelah keheningan yang menyiksa, akhirnya Nove bertanya, ”Bagaimana?”
”August-Olfa adalah anak kekasih ayah,” jawab ayahnya, tanpa berusaha menutup-nutupi.
”Walaupun harus mati, aku tak akan memberikan Medali Tahta padanya,” tegas Nove segera, menatap mata ayahnya, ”pada laki-laki yang tak jelas seperti dia. Maka kecuali aku mati, dia tak akan pernah jadi Raja.”
Ayahnya mendesah. Sepertinya ia sudah menduga hal ini.
”Lagipula,” lanjut Nove, matanya mulai berkaca-kaca, ”darimana ayah tahu orang ini tidak berbohong?”
Ayahnya kembali mendesah.
Anak laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Sesuatu yang sama persis seperti yang dimiliki Nove. Melihat benda itu, Nove nyaris tergelincir dari duduknya.
”Saya punya Medali Tahta sendiri,” ujar anak laki-laki itu lirih, seperti takut melukai Nove.
Sekejap Nove hanya terpaku menatap benda itu, seolah baru pertama kali melihatnya. Kemudian ia melirik ayahnya, yang sama sekali tidak menunjukkan air muka terkejut. Sepertinya Raja sudah mengetahui tentang medali ini.
Nove bangkit dari duduknya dan menjerit dengan jijik, ”Palsu! Beraninya kau menipu ayahku dengan medali murahan seperti itu!”
”Tuan Putri, ini asli,” anak laki-laki itu mendongak menatap Nove tanpa ragu-ragu, ”sudah dipastikan oleh Yang Mulia sendiri.”
”Pembohong murahan! Aku tak mungkin menyebutmu kakak ---- apalagi pewaris tahta! Kau harus mati! Atau kalau tidak ---- aku yang akan mati!”
Nove memutar tubuh dengan cepat, lalu menyusul ibunya. Kali inipun Raja tidak mencoba menahan.

Prelude : Si Anak Laki-laki dan Sang Paman

Di tengah reruntuhan, sepasang kaki mungil bergerak tersaruk. Terhalang sebongkah batu. Tersandung. Menambah gores di lutut dan sekujur betisnya. Pemilik kaki itu mengusapnya dengan sedikit rintihan. Telapak tangannya yang bernoda membuat lukanya menghitam. Ia kembali mengaduh, sebelum akhirnya memutuskan bertumpu pada sebatang pilar yang hanya tinggal setinggi pinggang orang dewasa itu.
Ia memandang matahari, berpikir mungkinkah ia tinggal seorang diri. Lekas diabaikannya ide itu dari benaknya, karena hanya akan melemahkan hatinya. Dilepaskannya tumpuannya, dicobanya kembali melangkah. Namun sekali lagi lututnya menyapu tanah. Perih di kaki dan di hati merebakkan air matanya, dan ia tak berusaha mengusapnya.
Beberapa menit air matanya jatuh ke tanah, ia mendengar sesuatu. Seperti tangisan. Seperti rintihan. Segera ia menggosok matanya dan menghentikan isaknya, untuk memastikan yang didengarnya bukan gema.
Tidak.
Ada seseorang selain dia di sini.
Ia mencoba memanggil. Rintihan itu tak merespon. Sekali lagi.
”Saya di sini,” sahutnya, kemudian.
Anak laki-laki itu merasakan darah kembali memenuhi rongga kepalanya. Walau dengan beringsut, ia berusaha mendekati rintihan itu.
”Di mana?” panggil anak laki-laki itu sekali lagi.
”Di sini,” jawab rintihan itu, ”saya tak bisa bergerak. Saya di dekat altar.”
Beringsut beberapa langkah dan anak laki-laki itu dapat melihat Si Pemilik Suara. Dan benarlah, kaki Si Pemilik Suara jauh lebih buruk keadaannya daripada Si Anak Laki-laki. Mungkin tak lama lagi.
”Paman,” panggil anak laki-laki itu, ”aku akan cari bantuan. Paman bertahanlah.”
”Tidak! Tidak!” Sang Paman memotong cepat, ”Saya tak punya waktu lagi. Kemarilah, saya akan memberikan kehidupan yang jauh lebih baik padamu.”
Anak laki-laki itu agak tercengang. Apa yang dibicarakan paman ini pada situasi yang seperti ini?
”Bertahanlah, Paman, saya tak akan lama,” kata anak laki-laki itu mencoba membangkitkan semangat. Ia sendiri lupa bagaimana tekadnya sendiri nyaris lenyap.
”Tidak! Kemarilah, Nak, kemarilah! Saya mohon.”
Anak laki-laki itu bimbang sejenak, namun kemudian ia beringsut mendekat.
”Terima kasih,” suara Sang Paman terdengar amat lega, ”saya ingin menitipkan sesuatu padamu.” Lengan Sang Paman yang gemetar merogoh sebuah kantung kumal yang terikat di pinggangnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Sebuah keping, seperti uang logam tetapi lebih lebar dan lebih bercahaya. Walaupun tertutup oleh debu dan pasir, sama sekali tak mengurangi kilaunya. Keping itu berukir sebuah simbol yang rumit, yang tampaknya tak sembarang orang bisa membuatnya, apalagi memilikinya. Anak laki-laki itu terpesona.
”Untukmu,” kata Sang Paman.
Kesekian kalinya anak laki-laki itu dibuat terkejut. ”Untukku? Terima kasih, tapi mungkin tak akan banyak gunanya. Negeri ini telah musnah, siapa yang akan membelinya?”
Paman itu menggeleng. ”Ini bukan untuk dijual, Nak,” katanya lambat-lambat, ”Lebih dari itu. Dengan ini kau bisa memiliki semua yang belum pernah kaumiliki dan memperoleh kesempatan yang mungkin takkan pernah kaudapatkan.”
Anak laki-laki itu kembali tercengang. ”Maksud paman apa?”
Paman itu terbatuk. ”Saya tak punya waktu untuk menjelaskan,” jawabnya lemah. ”Paman akan mengirimmu pada,” ia terbatuk lagi, ”pada sebuah tempat dimana kau bisa menggunakan benda ini, tapi----”
Paman itu kembali terbatuk, dan terbatuk lagi. Si Anak Laki-laki mencoba meneguhkan letak duduknya, berharap membuat kondisi paman yang baru dikenalnya itu membaik.
”Nak, tapi saya mohon penuhi syaratnya. Temukan orang yang memiliki benda yang sama dengan ini----”
”Paman, sebaiknya aku cari bantuan,” kata Si Anak Laki-laki dengan panik melihat Sang Paman kembali terbatuk dan kali ini cairan merah kental mengalir lambat di sudut bibirnya.
”Tidak! Jangan!” Paman itu mencengkeram lengan Si Anak Laki-laki dengan kekuatan yang sukar dipercaya, ”Kau harus temukan! Orang dengan simbol yang sama! Orang yang memiliki simbol yang sama dengan milikmu!”
Terdengar suara gemuruh di langit yang mendadak menghitam. Kilat menyambar, yang anehnya hanya di sekitar altar tempat Si Anak Laki-laki dan Sang Paman berpegangan tangan. Udara menjadi sedingin beku, dan anak laki-laki itu merasa amat ketakutan, lebih daripada saat ia menatap matahari beberapa saat yang lalu.
Namun Sang Paman tak berhenti berbicara.
”Berjanjilah, Nak, orang yang memiliki simbol itu, kau akan melindunginya! Dia tidak boleh mati! Saya mohon, dia tidak boleh mati!”
Kilat kembali menggetarkan altar, seolah amat dekat dengan kepala keduanya. Anak laki-laki itu memeluk erat Sang Paman, mencoba memperoleh ketenangan darinya, hingga disadarinya bahwa ternyata Sang Paman tidak ada di dalam pelukannya.
Ia terperangah.
Lalu disadarinya langit yang menghitam tadi amat cerah.
Dan disadarinya reruntuhan altar berubah menjadi istana yang megah.
Ia memandang berkeliling, terkesima, ketakutan, takjub, bercampur jadi satu, lalu ia ingat yang pernah dikatakan paman itu.
”...kau bisa memiliki semua yang belum pernah kau miliki...”

Salam kenal! \(^O^)/

Saya Dyantie, penulis amatir. Karena kurang yakin cerita yang saya tulis bernilai komersial, maka saya coba tulis di sini.
Saya akan senang sekali jika ada yang bisa menikmati tulisan ini. Tetapi mohon untuk tidak melakukan segala bentuk komersialisasi terhadap tulisan ini, karena saya masih ingin mendapat masukan sebanyak-banyaknya dari pembaca.
Selamat membaca dan mohon menuliskan komentar anda setelah membacanya.
Terima kasih!